Saturday, December 13, 2008 Persoalan Tasbih |
Bolehkah Menghitung Zikir Dengan Tasbih? Oleh : Abu Al-Jauzaa'
Sebelum ke inti permasalahan, ada baiknya kita telusuri kerangka berpikir sebagai berikut :
PERTAMA : KAIDAH-KAIDAH MENGENAL BID’AH
Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizani telah menulis sebuah buku yang cukup bagus dan komprehensif dengan judul : Qawaaid Ma’rifaatil-Bida’ [ قوائد معرفة البدع ] yang menjelaskan tentang sub judul di atas. Dalam ‘Ilmu Ushulil-Bida’-nya Syaikh ‘Ali Al-Halaby terdapat secara menyebar. Akan diambil hal-hal yang relevan diantaranya :
a) Setiap Ibadah yang Berlandaskan pada Hadits Maudlu’ yang Disandarkan pada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, Maka Itu Adalah Bid’ah.
b) Setiap Amalan yang Berlandaskan pada Pendapat Semata dan Hawa Nafsu, Maka Itu Bid’ah.
c) Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Meninggalkan Suatu Ibadah yang Ada, Padahal Faktor dan Sebab yang Menuntut untuk Dikerjakannya Ada, Sementara Faktor Penghalangnya Tidak Ada, Maka Melaksanakan Ibadah Tersebut Adalah Bid’ah.
d) Semua Ibadah yang Tidak Dilakukan oleh As-Salafush-Shalih dari Kalangan Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut-Tabi’in; Atau Mereka Tidak Menukilnya (Tidak Meriwayatkannya) Atau Tidak Menukilnya dalam Kitab-Kitab Mereka Atau Tidak Pernah Menyinggung Masalah Tersebut dalam Majelis-Majelis Mereka, Maka Jenis Ibadah itu Adalah Bid’ah dengan Syarat Faktor Penuntut untuk Mengerjakan Ibadah Tersebut Ada dan Faktor Penghalangnya Tidak Ada.
e) Setiap Ibadah yang di dalam Syari’at Berdasarkan Bentuk (Dibatasi dengan Tata Cara) Tertentu, Maka Menambah Bentuk (Tata Cara) Ini Adalah Bid’ah.
f) Setiap Keyakinan, Pendapat, dan Ilmu yang Bertentangan dengan Nash-Nash Al-Kitab dan As-Sunnah, Atau Menyelisihi Ijma’ Salaful-Ummah, Maka Itu Adalah Bid’ah (Jami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadllihi 2/1052; Dar’ut-Ta’arudl 1/208-209, I’lamul-Muwaqqi’in 1/67, dan lain-lain).
g) Menyerupai Orang-Orang Kafir dalam Hal-Hal yang Khusus Bagi Mereka, Baik Berupa Ibadah, Adat, Kebisaaan, Atau Keduanya; Maka Itu Adalah Bid’ah (Ahkaamul-Janaaiz hal. 242).
HADITS-HADITS YANG DIANGGAP SEBAGAI HUJJAH MASYRU’NYA BIJI TASBIH
a) نعم المذكر السبحة “Sebaik-baik pengingat adalah subhah/biji tasbih” (Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam Musnad Firdaus).
Status hadits : MAUDLU’, dikarenakan : - sanadnya sangat gelap, yaitu para perawinya tidak dikenal; - sebagian rawinya ada yang tertuduh berdusta (muttaham).
b) عن أبي هريرة كان صلى الله عليه وسلم يسبح بالحصى Dari Abu Hurairah secara marfu’ : Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bertasbih dengan kerikil” (Diriwayatkan oleh Abul-Qasim Al-Jurjani dalam Tarikh Jurjaan nomor 68).
Status hadits : MAUDLU’, dikarenakan terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Rabi’ah Al-Qudami yang sering meriwayatkan hadits-hadits munkar dan palsu (Lihat Adl-Dla’iifah nomor 1002).
c) عن سعد بن أبي وقاص انه دخل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم على امرأة وبين يديها نوى أو حصى تسبح به Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang ia gunakan untuk bertasbih/dzikir (Diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 1500, At-Tirmidzi nomor 3568, dan lain-lain).
Status hadits : DLA’IF, dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khuzaimah yang majhul; juga Sa’id bin Abi Hilal, walaupun Ibnu Hajar berkata : Shaduq, akan tetapi Imam Ahmad telah menjarh-nya dimana Sa’id bin Abi Hilal ini rusak hafalannya di akhir umurnya. (Kesimpulan : Hadits ini tidak lepas dari kritik).
d) عن كنانة مولى صفية قال سمعت صفية تقول دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بها Dari Kinanah maula Shafiyyah berkata : Aku mendengar Shafiyyah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah menemuiku dan ditanganku ada empat ribu nawat (bijian kurma) yang aku pakai untuk menghitung dzikirku….” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi nomor 3554).
Status hadits : DLA’IF, dikarenakan terdapat rawi yang bernama : - Hasyim bin Sa’id. Ibnu Ma’in berkata tentangnya bahwa ia tidak ada apa-apanya (maksudnya dla’if). Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menyebutnya dla’if. - Kinanah Maula Shafiyyah adalah majhul haal.
KEDUA : SEJARAH TASBIH (bisa dibaca dalam Da’iratul-Ma’arif Al-Islamiyyah 11/233-234, Al-Mausu’at Al-‘Arabiyyah Al-Muyassarah 1/958, Al-Mausu’at Al-Arabiyat Fatawa Rasyid Ridla 3/435-436, dan lain-lain).
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan bahwa tasbih telah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800 M orang-orang Budha telah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al-Baraahimah di India, pendeta Kristen, dan rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia.
Orang Katolik menggunakan 50 biji tasbih kecil yang dibagi menjadi empat yang diberi pemisah dengan biji tasbih besar dengan jumlah yang sama. Juga dijadikan sebagai kalung yang terdiri dari dua biji besar dan tiga biji kecil, kemudian “matanya” dibuat dengan tanda salib. Mereka membaca puji Tuhan dengan biji tasbih yang besar, dan membaca pujian Maryamiyyah dengan biji tasbih yang kecil.
Orang-orang Budha diyakini sebagai orang yang pertama menggunakan biji tasbih untuk menyelaraskan antara perbuatan dan ucapannya ketika sedang melakukan persembahyangan. Juga dilakukan oleh orang-orang Hindu di India, dan dipraktekkan oleh orang-orang Kristen pada abad pertengahan.
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul-Hindi disebutkan bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan biji tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejaranh bahwa orang-orang Arab Jahiliyyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, tidak satupun ada syair jahiliyyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah mu’arrabah (di-arab-kan). Begitu juga pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan hadits yang memuat lafadh “subhah” [سبحة], jangan sekali-kali membayangkan bahwa makna lafadh tersebut adalah alat tasbih seperti yang dipergunakan orang sekarang ini. Karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbicara dengan shahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih – seperti yang beredar sekarang ini – tidak dikenal oleh shahabat dan juga tabi’in.
PEMBAHASAN
Setelah 3 point muqaddimah di atas, maka kita akan masuk ke inti pembahasan. Perlu ditekankan di sini bahwa menghukumi status tasbih tidak terlepas pada kondisi riil masyarakat tentang tasbih ini. Kondisi riil tersebut adalah :
1. Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa penggunaan tasbih ini masyru’ dan sesuai dengan contoh dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2. Masyarakat banyak yang menganggap bahwa penggunaan tasbih dalam dzikir ini lebih afdlal daripada menggunakan jari tangan.
3. Masyhurnya penggunaan tasbih ini dalam kehidupan masyarakat muslim beserta I’tiqad-I’tiqad penyertanya sebagaimana terdapat pada dua poin sebelumnya.
Pembahasan di sini berusaha akan menjawab pertanyaan : “Apakah penggunaan tasbih itu bid’ah atau sunnah ? Jikalau Bid’ah tentu amal tersebut adalah mardud (tertolak). Sebaliknya, jikalau dikatakan Sunnah, maka amal tersebut adalah maqbul (diterima).
Maka, mari kita perhatikan Kaidah-Kaidah Mengenal Bid’ah di atas, kemudian kita cocokkan dengan syari’at tasbih yang sedang kita bahas ini.
a) MEMENUHI : hadits-hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dijadikan dasar amalan tasbih ini adalah termasuk dalam klasifikasi hadits mardudu (maudlu’ dan dla’if).
b) MEMENUHI : karena hadits-hadits yang dipakai hujjah masyru’nya tasbih adalah mardud, maka otomatis orang yang menyatakan masyru’nya tasbih hanyalah berdasarkan perkataan dan pendapat saja.
c) MEMENUHI : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika berdzikir adalah menggunakan tangan kanannya sebagaimana riwayat sebagai berikut :
عن عبد الله بن عمرو قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه Dari Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbih (dengan jari-jari) tangan kanannya” (HR. Abu Dawud 1502, At-Tirmidzi 3486, Hakim 1/547, dan Baihaqi 2/253. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud 1/280 no. 1330 dan Shahih Tirmidzi 3/146 no. 2714).
عن يسيرة قالت: قال لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم : عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس. ولا تغفلن فتنسين التوحيد (وفي رواية : الرحمة) واعقدن بالأنامل فإنهن مسئولات مستنطقات Dari Yasirah (seorang perempuan Muhajirin), ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada kami : “Hendaklah kalian selalu tetap bertasbih, dan bertahlil, dan bertaqdis. Dan janganlah kalian lalai, yang nanti akibatnya kalian akan melupakan tauhid (dalam riwayat yang lain : rahmat). Dan hendaklah kalian hitung dengan jari-jari (kalian), karena sesungguhnya jari-jari itu nanti akan ditanya dan akan diminta untuk berbicara” (HR. Abu Dawud 1501. Dihasankan oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-‘Asqalani).
Dua riwayat di atas menunjukkan fi’il (perbuatan) dan qaul (perkataan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk berdzikir dengan jari tangan. Beliau tidak berdzikir dengan biji tasbih/biji/kerikil, dan tidak pula memerintahkannya. Sedangkan berdzikir dengan tasbih/biji/kerikil saat itu sangat dimungkinkan, namun beliau tetap tidak melakukannya dan memerintahkannya. Apakah ada halangan untuk melakukannya ? Tidak ! Bahkan telah tetap dalam hadits shahih celaan beliau terhadap orang-orang yang berbuat laghaa dengan memainkan kerikil saat hari Jum’at.
d) MEMENUHI : lihat penjelasan “Sejarah Tasbih”. Hal ini dikuatkan oleh atsar-atsar Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu sebagai berikut :
كان عبد الله بن مسعود يقول : أيمن على الله حسناته Adalah Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih/kerikil) dan berkata : “Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah?” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 7667 dengan sanad shahih).
Juga atsar Ibnu Mas’ud lain yang sangat masyhur ketika beliau mengingkari halaqah dzikir di Masjid Kuffah (lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 2005).
Ibnu Mas’ud merupakan salah satu ulama di kalangan shahabat selain Khulafaur-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, Mu’adz, dan lainnya. Pengingkaran Ibnu Mas’ud ini adalah sebagai penjelas kaifiyah dzikir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yaitu tidak secara berjama’ah dan tidak pula dengan kerikil/biji/tasbih) sekaligus pemahamannya akan Sunnah beliau.
e) MEMENUHI : Dzikir dengan menggunakan biji tasbih menyalahi kaifiyat dzikir yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (dimana beliau menggunakan jari tangan kanan).
f) MEMENUHI : Banyak masyarakat yang meyakini tentang afdlaliyyahnya dzikir dengan menggunakan biji tasbih. I’tiqad semacam ini tentu bukan merupakan i’tiqad yang didasari dalil shahih dan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
g) MEMENUHI : Pada asalnya, penggunaan biji tasbih dalam ibadah ini bukan merupakan syari’at agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallaaahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan syi’ar agama Budha, Hindu, dan Ahli Kitab. Lihat kembali penjelasan dalam “Sejarah Tasbih”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من تشبه بقوم فهو منهم “Barangsiapa yang bertasyabbuh (menyerupai) suatu kaum, maka ia termasuk mereka” (HR. Ahmad 2/50, 92; Abu Dawud 4031, Ath-Thahawi dalam Musykilul-Atsar 1/88; dan lain-lain. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 5/109 dan Al-‘Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya’ 1/342. Lihat pula Nashbur-Rayah 4/347).
Pembahasan mengenai tasyabbuh ini, silakan untuk merujuk detailnya dalam Iqtidlaa’ Shiraathal-Mustaqiim karya Ibnu taimiyyah. Ada bahasan yang sangat bagus di sana !!
Dari beberapa point Kaidah Pengenalan Bid’ah di atas, ternyata amalan dzikir dengan biji tasbih ini masuk dalam katagori BID’AH. Bukan Sunnah !! Setidaknya tabdi’ atas hal tersebut di atas telah dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bakr Abu Zaid yang mana si miskin Abu Al-Jauzaa’ banyak mengambil manfaat ilmu darinya. Allaahu a’lam.
Pembahasan di tutup dengan kalimat emas sebagai berikut :
إقتصاد في سنة خير من اجتهاد في بدعة “Sederhana dalam Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” (Syarah Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah 114 oleh Al-Laalikai – dari perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu).
ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم “Apabila kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan tersesat” (Diriwayatkan oleh Muslim 5/156 – An-Nawawi; juga dari perkataan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu).
ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله سنتهم مثلها “Tidaklah suatu kaum membuat satu bid’ah dalam agama mereka, kecuali Allah akan cabut dari mereka Sunnah yang semisal dengannya” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/45; shahih – dari Hassan bin ‘Athiyyah rahimahullah, seorang tabi’in yang mulia)
Allaahu a'lam
Abu Al-Jauzaa’ 1428
credits to: www.al-fikrah.netLabels: bid'ah
|
11:58 PM |
|
Monday, December 01, 2008 Di Mana? |
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamulaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Exam period has passed so I have a lot of time to spare. There will be no excuse for me not to update the blog, I suppose. Well, a thought sprung into my head lately and I thought of blogging about it and before I proceed, I will like to apologise - in advance - to the readers for writing this post in a mixture of Malay and English.
*
Sebagai seorang Muslim, aku tidak pernah menafikan kewujudan Allah. Allah memang ada. Rabb sekalian alam. Akan tetapi, persoalan 'Di Mana Allah?' tidak pernah terlintas di kepalaku sewaktu aku belajar di tingkatan rendah dahulu. Bahkan, aku berasa jika 4 atau 5 tahun yang lalu, ada yang bertanyakan kepadaku soalan yang sebegitu, sudah tentu aku terpinga-pinga untuk menjawabnya. Mungkin saja jawapanku, "Ermm, Allah kat mana-mana kan?" Allah tidak ada di hadapan, tidak ada di belakang, tidak ada di atas, tidak ada di bawah. Ini kerana aku sudah dididik bahawa Allah tidak bertempat. Jawapan yang aku rasakan sekarang ini, jika ianya keluar dari mulutku, memang patut aku menempelak diriku sendiri.
Minatku untuk membaca buku-buku agama terbit semenjak aku di sekolah menengah lagi. Dari situlah, aku mengetahui berdasarkan nas-nas yang shahih bahawa bila seseorang itu jikalau ditanya akan 'Di Mana Allah?', jawapan yang tepat adalah Allah fis sama' (di langit). Bahawa Allah Subhanahu wa Ta’ ala berada di atas semua langit, [1] bersemayam di atas ‘Arsy, [2] Maha Tinggi di atas segala makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, yaitu Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan.
Ini telah membuka mataku terutamanya akalku untuk terus berfikir, adakah benar dan tepat jawapan sebegini? Ada dalil untuk menyookong kenyataan sebegini? Aku 'disajikan' dengan banyak dalil untuk menyokong kenyataan ini. Islam itu adalah dalil. Itulah prinsipku sejak dahulu lagi. Dalil-dalil yang membuktikan akan bersemayamnya Allah di atas 'ArasyNya banyak sekali. Antaranya ialah:
"Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy." [Al-A’raaf: 54]
"(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy." [Thaahaa: 5]
Terdapat juga kata-kata para ulama' yang mengulas tentang ayat-ayat ini,
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
"...Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu membiarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya."
Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab:
"Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali dalam kesesatan." Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majlisnya. [ 3 ]
Imam Abu Hanifah (hidup pada tahun 80-150 H) rahimahullah berkata:
"Barangsiapa yang mengingkari bahawa Allah berada di atas langit, maka ia telah kafir." [ 4 ]
Oleh itu, memang benarlah bahawa Allah bersemayam di atas 'ArasyNya manakala kaifiatnya diserahkan kepada Allah kerana akal ini tidak mampu untuk mengetahui keadaannya. Sebagaimana kita harus patuh kepada Firman Allah:
"Dan tidak ada satu pun yang sama/sebanding dengan-Nya." [Al-Ikhlas : 4]
"Tiada sesuatu pun yang sebanding dengan-Nya (dengan zat-Nya, sifat-Nya dan pentadbiran-Nya)." [Asy-Syura : 11]
Walaubagaimanapun, aku dapat merasakan bahawa hakikatnya ramai yang masih berpegang kepada fahaman bahawa Allah ada di mana-mana. Pemahaman ini mungkin kerana pada pendapat segelintir masyarakat, agama itu meruapakan satu ritual 'sami'naa wa atho'naa', di mana apa sahaja dapat diajarkan oleh guru-guru agama itu bagaikan dalil-dalil qat'ii yang merupakan kata pemutus. Aku tidak meragui kredibiliti guru-guru agama bahkan aku amat menghormati mereka - cuma, aku mohon kepada para penuntut ilmu untuk membuka minda mereka supaya mengkaji akan apa yang mereka dengar itu. Supaya kita semua dapat berpegang dengan yakin bahawa apa yang menjadi keyakinan dan fahaman kita selama ini mempunyai nas-nas yang sabit daripada Al-Qur'an dan As- Sunnah. Bukan setakat ianya bersumber daripada guru-guru kita sahaja.
Tulisan ini merupakan satu wadah untuk aku sentiasa mengingati diri ini yang dhaif untuk terus mengkaji dan mengkaji. Bukan sekadar mengambil bulat-bulat apa yang didengar khususnya perkara berkaitan aqidah kerana aqidah yang diterima oleh Allah adalah aqidah yang benar mengikuti fahaman salafus-salih berdasarkan dalil-dalil yang sabit daripada Kitabullah dan Sunnah Rasulihi.
Wallahu Ta'ala A'lam.
01 Disember 2008
19:13 Hours.
*
Footnote
[1]. Dalil-dalil Allah berada di atas langit: QS. Al-Mulk: 16-17, al-An’aam: 18, 61, an-Nahl: 50 dan Faathir: 10.
[2]. Dalil-dalil tentang Istiwa’ Allah di atas ‘Arasy-Nya disebut di tujuh tempat: QS. Al-A’raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra’d: 2, Thaahaa: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajdah: 4 dan al-Hadiid: 4.
[3]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.
[4]. Lihat Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119) tahqiq Syaikh al-Albani dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 386-387) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.
Credits go to the following:
- Ahlus Sunnah Menetapkan Istiwa' ( Bersemayam )
Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas - Abu Usamah's blog.Labels: Aqidah
|
12:19 AM |
|
|